Baru-baru ini lagi heboh banget dunia per-kpop an dengan adanya
pemberitaan serius dari mantan member AOA yaitu Mina dengan salah satu member
AOA juga yang kemudian diketahui sebagai Jimin. Melalui akun instagram
pribadinya, Mina mengungkapkan bahwa dirinya telah mengalami depresi yang
serius yang hampir merenggut nyawanya. Mina mengaku telah dibully oleh sesama
member selama 10 tahun lamanya. Kemudian. Jimin menanggapi cerita Mina tersebut
dengan mengunggah sebuah story di media sosial pribadi miliknya yang kemudian
dia hapus. Mina mengunggah kembali postingan berlatar gelap diikuti dengan
caption dan kali ini menyebutkan dengan jelas bahwa member yang telah membully
nya selama 10 tahun adalah Jimin yang pada awalnya hanya disebutkan sebagai
“eonni itu”. Kasus pun semakin panas dan besar, yang berujung pada hengkangnya
Jimin dari AOA.
Aku sih bukan fans nya ya jadi gamau terlibat banyak, aku juga
kurang begitu mengikuti kisah kedua idol tersebut, hanya tau saja dari cuplikan
di youtube Jimin adalah salah satu peserta Unpretty Rapstar yang didalamnya ada
juga Jessi dan Cheetah. Kemudian AOA sendiri mengikuti ajang Queendom dan
performancenya cukup buat aku tertarik saat mereka mengcover salah satu lagu
hits dari Mamamoo yang juga merupakan peserta dari Queendom.
Oke lanjut lagi soal bully, kalau dilihat dari cerita Mina di
instagramnya, rasa sedih dan trauma dalam dirinya aku rasa cukup dalam ya,
apalagi sampai 10 tahun. Bayangin aja harus berdampingan selama itu dengan
orang yang kalian takuti dan kalian tau kalau dia sepertinya menyimpan rasa
ketidaksukaan sama diri kalian. Bisa bertahan selama itu udah hebat banget. Aku
tau rasanya takut sama seseorang, lihat mukanya aja bisa gemeteran duluan
apalagi kalau sampai berinteraksi. Ngomong-ngomong soal verbal bullying, Jimin
bisa saja berdalih kalau apa yang dia omongin dulu itu hanyalah omongan sekali
lewat, bahkan mungkin aja nih, Jimin ga ingat pernah mengatakan itu karena
baginya hal itu ga ada bedanya dengan angin berhembus, udah berhembus yaudah
lupa aja gitu apalagi kejadian mungkin udah lewat bertahun-tahun lamanya. Tapi
engga buat Mina, ucapan yang dia anggap angin lalu itu, buat Mina cukup
menghancurkan dunianya, menimbulkan efek traumatis, rasa takut berkepanjangan.
Sedikit banyaknya aku paham apa yang dirasaian Mina karena, meskipun ga
seekstrim Mina, aku juga pernah mengalaminya. Pengalaman pertamaku menjadi
seorang Ibu.
Mungkin aja nih beberapa orang yang baca ceritaku ini akan
berpikiran kalau “ah gitu doang padahal”, “ah dasarnya aja baperan”. Tunggu
dulu, dulupun aku pernah berkata seperti itu setiap kali menemui curhatan
seseorang yang kalau dipikir-pikir masalahnya cuma sepele. Sampai aku
mengalaminya sendiri dan ya aku kena tulahnya, aku baper sama masalah sepele.
Sepele bagi orang lain tapi ga sepele buat aku. Karena hingga saat anakku sudah
berusia satu tahun saat ini, kata-kata itu masih terngiang dengan jelas dan
membuatku takut bertatap muka dengan orang itu.
Sebagai orang tua baru, tentu aku sangat exited sekali tentang
segala sesuatu berbau anak ya, lagi seneng-senengnya lah. Meski ceritaku
sebagai orang tua baru ga sempurna dan diwarnai banyak drama terutama drama
tentang menyusui, dan culture shock, jam tidur ga teratur udah macem zombie,
stress dan lain sebagainya. Tapi disela-sela drama itu aku masih tetep exited
dengan hal baru salah satunya adalah datang ke Posyandu.
Posyandu seharusnya jadi tempat curhat, konsultasi tumbuh kembang
anak dengan para kader yang biasanya petugas dr salah satu Puskemas terdekat di
lingkungan rumah. Tapi aku kurang tau pasti karena Pusyandu yang ada di komplek
rumahku petugasnya yang aku sadar (karena aku warga pendatang baru) sepertinya
masih dari ibu-ibu komplek, ga ada petugas puskesmas berseragam. Oh mungkin
juga karena Posyandu nya diadakan sore hari ya kurang tau juga pastinya gimana.
Oke lanjut..
Aku exited sekali pada awalnya, siapa sih yang ga penasaran dengan
tumbuh kembang anak sekaligus mau sedikit berkonsultasi tentang kesulitanku
dalam mengASIhi. Tapi apa yang aku dapat, tanpa bertanya berat lahir anakku
berapa, apa yang jadi kesulitanku, meski aku jelaskan kondisiku seperti apa, kesulitan
yang aku alami, nampaknya si ibu tidak begitu peduli. Yang ada aku merasa
sepeti dihakimi, ditelanjangi ditempat. “Ibu tau ga periode emas sang
anak seperti apa? sayang banget kalau ga ASI”. “Kok bisa ya, ibu kan ga kerja
kan dirumah aja kan? sayang loh” begini begitu.. terus menerus. Ingin
rasanya bisikin dikupingnya “Bu… Ibu ga perlu repot-repot nyalahin saya, tanpa
ibu salahin pun saya udah ngerasa bersalah karena saya merasa gabisa jadi ibu
yang baik untuk anak saya. Jadi ga usah ibu tambahin dengan menilai saya ga
berusaha untuk anak saya”. Tapi sayangnya yang aku bisa cuma nahan air mata
turun.
Aku mau menjelaskan panjang lebar pun rasanya seperti apa ya, “aku
kan ga berhutang penjelasan ke dia” . Entah apa yang menyebabkan dirinya tetap
berkata pedih seperti itu meski aku sudah jelaskan bagaimana kondisi ku. Aku
sudah berusaha semaksimal yang aku bisa, segala drama aku alami bahkan hingga
drama bertengkar dengan pasangan berujung minta dipulangkan ke rumah orang tua.
Ya memang se stressfull itu buatku. Ketika nulis ini pun, mataku jujur aja
masih berkaca-kaca, masih jelas rasanya kecewa sama keadaan diri sendiri, masih
kebayang rasanya kaya gimana. Ditambah rasa takut masih ketika jadwal Posyandu
tiba. Sampai akhirnya, suamiku melarangku untuk datang karena seringkali aku
menangis setiap kali pulang dari sana. Semenyakitkan itu perkataanya. Membekas!
padahal bisa aja buat orang lain itu sepele ya tapi buat aku itu luar biasa
menyakitkan. “Tidak bekerja saja kok gamau menyusui” 😠Aku paham betul ASI adalah
makanan terbaik untuk anak, aku juga banyak belajar itulah mengapa rasanya ku
kecewa pada diriku sendiri. aku juga Pro Asi kok, bukan berarti aku tidak full
menyusui sama saja aku tidak pro ASI. Aku bukan gamau tapi gak bisa maksimal.
Lidah emang ga bertulang tapi bahayanya sama saja dengan sebilah
pedang. Sama-sama bisa melukai bahkan membunuh kapan saja. Bukan cuma fisik
tetapi juga mental seseorang. Oh sungguh beneran, kudu banget hati-hati kalau
bicara dengan siapa saja atau tentang apa aja. Bisa aja kita menyepelekan
keadaan seseorang hanya dari apa yang kita lihat luarnya tapi ternyata yang
terjadi justru lebih dari itu.
Semoga kita semua bisa berhati-hati ya dalam berkata dan
berperilaku sehingga ga ada yang tersakiti dan ga ada dendam dikemudian hari.
Karena kita juga ga pernah tau efek apa yang akan terjadi ketika kita dengan
sengaja atau tidak menyakiti perasaan orang. Bagus kalau orang itu mau
memaafkan, kalau sampai gamau memaafkan bagaimana?
Aduh maafin ya kalau tulisan kali ini agak ngelantur hehehe..
rasanya lega aja kalau sudah nulis unek-unek. Maapin ya kalau ada salah-salah
kata, borahae 💜
Komentar
Posting Komentar